Relasi Diplomatik Khas Vatikan-Indonesia
Catatan admin: Artikel wawancara ini pertama kali diterbitkan di Majalah HIDUP edisi 16, April 2016
SEJARAH mencatat, Vatikan adalah salah satu negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada 1947, Vatikan mendirikan sebuah Delegasi Apostolik di Indonesia. Pada 16 Maret 1950, Vatikan meresmikan Internunsiatur Apostolik yang statusnya menjadi Nunsiatur Apostolik pada 7 Desember 1966. Sampai sekarang, hubungan diplomatik kedua negara masih terjalin baik.
Dua pekan lalu, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Antonio Guido Filipazzi diwawancarai HIDUP. Sekitar satu jam, ia bercerita seputar hubungan diplomatik Vatikan – Indonesia dan tugas-tugasnya sebagai duta besar. Berikut ini petikan selengkapnya.
Bagaimana hubungan diplomatik Vatikan-Indonesia?
Hubungan diplomatik Vatikan–Indonesia sudah terjalin sangat lama. Dimulai sejak 1950 ketika Vatikan mendirikan Internunsiatur Apostolik di Indonesia. Berdasarkan pengalaman saya di Indonesia, Takhta Suci sangat mengapresiasi hubungan baik yang sudah terjalin lebih dari 60 tahun ini. Dua Paus, Paulus VI dan Yohanes Paulus II, sudah pernah mengunjungi Indonesia. Sebaliknya, beberapa Presiden Indonesia sudah berkunjung ke Vatikan. Presiden Soekarno malah empat kali; terakhir Megawati. Ini menandakan bahwa hubungan kedua negara terjalin dengan sangat baik.
Saya berharap agar Presiden Joko Widodo juga bisa datang ke Vatikan untuk berjumpa dengan Paus Fransiskus. Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Pietro Parolin sudah datang ke Indonesia. Dan saya kira ini tanda positif perhatian Vatikan untuk Indonesia.
Kerja sama seperti apa yang dibangun dalam hubungan diplomatik Vatikan–Indonesia?
Harus diingat bahwa hubungan diplomatik Vatikan–Indonesia berbeda dengan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara lain. Demikianpun dengan kehadiran Nunsiatura (Kedutaan Besar Vatikan) di Indonesia. Hubungan diplomatik Vatikan–Indonesia harus dilihat dalam konteks, pertama-tama adalah relasi antara Vatikan sebagai pusat Gereja Katolik dunia dengan Gereja Lokal di Indonesia. Komunitas Gereja Katolik di Indonesia sangat besar dan Takhta Suci merasa perlu menjalin hubungan dengan umatnya di sini. Kehadiran Nunsiatura lebih pada representasi Takhta Suci untuk Gereja Katolik di Indonesia. Dalam konteks itulah hubungan diplomatik kedua negara ini dibangun.
Fokus paling utama dalam hubungan kedua negara adalah terkait dengan isu-isu Gereja Katolik. Nunsius (Duta Besar Vatikan) di Indonesia lebih terlibat dalam dinamika Gereja Katolik Indonesia. Ini berbeda dengan kedutaan besar lain yang hubungan diplomasinya terkait isu ekonomi, pertahanan, sosial, dan politik. Meskipun Kedutaan Besar Vatikan juga ikut memperhatikan persoalan-persoalan itu, tetapi selalu dalam konteks keterhubungannya dengan Gereja Katolik di Indonesia. Termasuk pula isu-isu moral dan perdamaian. Tugas saya adalah menjalin komunikasi dengan keuskupan-keuskupan di Indonesia dan menginformasikan ke Takhta Suci mengenai perkembangan Gereja Katolik di Indonesia.
Apakah nunsius selalu membuat laporan ke Vatikan tentang Gereja Indonesia?
Ya. Hampir tiap minggu saya mengirimkan informasi ke Sekretariat Negara Vatikan, terutama bagian Urusan Diplomatik untuk Negara-negara di Vatikan dan menginformasikan perkembangan atau isu apa saja yang sedang terjadi di Indonesia. Kadang mereka yang menghubungi kami untuk bertanya tentang sesuatu. Saya menjalin komunikasi dengan Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama terkait isu dan perkembangan dialog antaragama di Indonesia. Sementara terkait misi dan pastoral, saya berkomunikasi dengan Kongregasi Evangelisasi Bangsa-bangsa.
Berapa kali setahun Nunsius ke Vatikan?
Saya pergi ke Italia bisa tiga kali setahun. Selain untuk urusan pribadi, saya juga datang ke Vatikan untuk urusan-urusan tertentu. Terakhir saya datang ke kantor Kongregasi Liturgi Suci untuk urusan liturgi. Ada juga jadwal tahunan bagi para nunsius untuk bertemu secara pribadi dengan Paus. Dalam pertemuan itu, para nunsius menceritakan pengalaman dan tugasnya serta isu-isu yang berkembang di tempat ia ditugaskan.
Bagaimana pandangan Paus Fransiskus tentang Indoensia?
Paus Fransiskus memberi perhatian besar kepada Indonesia. Ia sangat kagum bahwa meskipun negara ini menjadi salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, orang Indonesia masih bisa tinggal berdampingan dengan umat beragama lain. Bahwa ketika di negara-negara lain orang sulit untuk tinggal bersama karena berbagai perbedaan, di Indonesia malah sangat dimungkinkan. Takhta Suci sangat mengapresiasi hal ini.
Semboyan ‘Meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu’ (Bhinneka Tunggal Ika) sangat memungkinkan orang untuk tinggal bersama dalam keragaman agama, suku, dan ras. Semboyan ini sangat indah. Tapi ini bukan berarti tugas kita sudah selesai. Tiap hari gangguan kepada keharmonisan itu terus mengintip. Jadi perlu diusahakan dari waktu ke waktu.
Bagaimana pengalaman Nunsius dengan Gereja Indonesia?
Gereja Katolik Indonesia sangat luas; terdiri dari 37 keuskupan dan banyak sekali tarekat religius yang berkarya di Indonesia. Bahkan saya sendiri tidak bisa menghafal semuanya. Tetapi sebagai nunsius, saya selalu bertanya kepada para uskup tentang situasi Gereja yang ia gembalakan. Dalam kesempatan kunjungan ke berbagai tempat saya bisa melihat langsung kehidupan umat. Kebetulan juga saya punya kemudahan untuk berkomunikasi dengan para uskup dan Konferensi Waligereja Indonesia. Terutama dengan Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo. Saya sering berkomunikasi dengannya, entah itu via telpon, email, atau juga lewat WhatsApp.
Saya ingin berterima kasih untuk jalinan komunikasi yang sangat baik ini. Karena saya tidak mungkin bekerja maksimal tanpa kerja sama dan dukungan dari uskup-uskup Indonesia. Kontribusi Gereja Lokal sangat penting.
Sudah berapa keuskupan di Indonesia yang nunsius kunjungi?
Saya sudah berkeliling dari Sumatera sampai Papua. Sudah hampir 30 keuskupan yang saya kunjungi. Beberapa keuskupan sudah saya datangi dua kali bahkan lebih, seperti Keuskupan Sintang dan Keuskupan Agung Samarinda. Keuskupan Amboina malah sudah tiga kali. Biasanya mereka punya perayaan tertentu dan mengundang saya. Kalau tidak ada kesibukan saya, saya pasti datang. Saya datang ke Ambon untuk merayakan ulang tahun ke-100 alm. Mgr Andreas P. C. Sol MSC (wafat, 26 Maret 2016).
Saya juga mengunjungi seminari-seminari tinggi di Indonesia. Karena saya pikir seminari merupakan ladang formasi para pemimpin Gereja Indonesia di masa depan. Sebulan yang lalu saya datang ke Seminari Tinggi Ritapiret, Maumere, NTT.
Dalam waktu dekat saya akan menerbitkan kumpulan homili yang saya sampaikan di tempat-tempat yang saya kunjungi. Ini bisa membantu saja untuk mengingat kunjungan ke berbagai keuskupan di Indonesia. Mgr Suharyo bilang ke saya, ‘Ini adalah pertama kali nunsius di Indonesia membuat buku kumpulan homili’. Saya jawab, ‘Oke, biar saya jadi orang pertama dalam sejarah nunsiatura di Indonesia yang bikin buku’.
Bagi saya proses membuat homili butuh waktu panjang. Saya harus belajar tentang tempat yang akan saya kunjungi, menulis, kemudian ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, belajar melafalkan, dan lain-lain. Jadi saya pikir, setelah lima tahun bertugas di Indonesia baik kalau homili-homili itu dibukukan.
Tiga keuskupan di Indonesia sedang sede vacante (Takhta lowong). Apakah nunsius membantu dalam proses pemilihan uskup baru?
Tugas saya memang mempersiapkan calon uskup baru ketika sebuah keuskupan mengalamai Takhta lowong. (Saat ini Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Sintang, dan Keuskupan Tanjung Selor sedang Takhta lowong). Tugas ini dilakukan bersama dengan Gereja Lokal. Jadi saya tidak bisa langsung mengatakan bahwa saya kenal imam ini dan dia layak jadi uskup. Prosesnya adalah keuskupan yang mengalami Takhta lowong mengusulkan beberapa nama kandidat yang berpotensi. Kemudian saya mengecek profilnya. Kalau baik saya teruskan ke Takhta Suci. Bapa Suci yang akan memutuskan apakah kandidat yang diusulkan itu sudah tepat atau belum.
Pernahkah nama-nama yang diusulkan itu ditolak?
Pernah. Dan itu bisa saja terjadi. Paus punya kebebasan penuh dan pertimbangan sendiri untuk memunjuk imam mana yang menjadi uskup. Kalau kandidat yang ditunjuk ditolak berarti saya harus bekerja ulang dari awal. Proses ini sangat panjang dan membutuhkan waktu. Tetapi ini sudah jadi tugas saya.
Apakah mungkin Paus Fransiskus datang ke Indonesia?
Saya tidak bisa mengatakan mungkin atau tidak. Keputusan untuk mengunjungi Indonesia adalah keputusan pribadi Bapa Suci. Tiap tahun Paus menerima undangan untuk berkunjung ke beberapa negara. Akhir tahun kemarin, Kardinal Parolin sudah datang ke sini dan tentu saja menujukkan bahwa Paus punya perhatian besar kepada Indonesia. Saya pikir kedatangan Kardinal Parolin tentu sesuatu yang bagus untuk menyampaikan undangan itu.
Bulan depan saya akan ke Vatikan dan mudah-mudahan bisa dapat kesempatan untuk bertemu dengan Paus. Kalau bertemu nanti, saya akan menyampaikan kepada Paus tentang keinginan umat Indonsia agar ia bisa berkunjung ke sini. Tapi sekali lagi, soal Paus Fransiskus datang ke Indonesia, saya tidak tahu.
Stefanus P. Elu
0 Comments