Pidato Sri Paus Fransiskus – Gereja Katedral, 4 September 2024
KUNJUNGAN APOSTOLIK SRI PAUS FRANSISKUS
KE INDONESIA, PAPUA NUGINI,
TIMOR-LESTE DAN SINGAPURA
2-13 September 2024
Pidato pada Pertemuan dengan Para Uskup, Imam, Diakon, Kaum Hidup Bakti,
Seminaris dan Katekis
Katedral Jakarta
4 September
Saudara dan saudari terkasih, selamat sore!
Saya menyapa semua yang hadir, Kardinal, para Uskup, para imam, para diakon, biarawan dan biarawati, para seminaris dan katekis. Saya berterima kasih kepada Ketua Konferensi Waligereja Indonesia untuk sambutannya, demikian juga kepada saudara dan saudari kita yang sudah membagikan kesaksiannya dengan kita.
Seperti yang Anda sekalian ketahui, moto yang dipilih untuk Kunjungan Apostolik ini adalah Iman, Persaudaraan, Bela Rasa. Saya pikir ketiga keutamaan ini mengungkapkan dengan baik perjalanan Anda sebagai sebuah Gereja dan karakter Anda sebagai sebuah bangsa, yang secara etnik dan budaya berbeda. Pada saat yang sama, Anda sekalian dicirikan oleh sebuah pergumulan dalam untuk mewujudkan persatuan dan kehidupan bersama yang bersatu dan damai, seperti yang dicerminkan oleh prinsip-prinsip tradisional Pancasila. Sekarang saya ingin bersama Anda merefleksikan tentang tiga kata tersebut.
Yang pertama, iman. Indonesia adalah sebuah negara besar, dengan banyak kekayaan alam, terutama marga dan satwa, sumber daya energi, bahan baku dan seterusnya. Kalau dilihat secara sepintas, kekayaan yang begitu besar ini dapat menjadi alasan untuk menjadi sombong atau angkuh, tetapi kalau dilihat dengan pikiran dan hati yang terbuka, kekayaan ini sebaliknya dapat menjadi pengingat akan Allah, akan kehadiran-Nya di alam semesta dan dalam hidup kita, seperti yang diajarkan Kitab Suci pada kita (bdk. Kej 1; Sir 42:15; 43:33). Sesungguhnya, Tuhanlah yang memberikan semua ini. Tidak ada sejengkal pun dari wilayah Indonesia yang menakjubkan ini, dan tidak ada satu momen pun dalam kehidupan jutaan penduduknya, yang bukan merupakan anugerah dari Allah, sebuah tanda akan kasih-Nya yang cuma-cuma dan abadi sebagai Bapa. Melihat semua yang telah diberikan pada kita dengan mata anak-anak yang ugahari membantu kita untuk percaya, untuk mengenal diri kita sendiri sebagai insan kecil dan dikasihi (bdk. Mzm 8), dan untuk memelihara rasa syukur dan tanggung jawab.
Tadi Agnes berbicara tentang ini ketika ia mengundang kita untuk menjalani relasi kita dengan alam ciptaan dan dengan saudara dan saudari kita, khususnya dengan mereka yang paling membutuhkan, melalui gaya hidup pribadi dan komunal yang ditandai oleh sikap menghormati, keadaban dan rasa perikemanusiaan, bersamaan dengan ketenteraman dan kasih Fransiskan.
Setelah iman, kata kedua dari moto Kunjungan ini adalah persaudaraan. Seorang penyair abad dua puluh menggunakan sebuah ungkapan yang sangat indah untuk menggambarkan sikap ini. Dia menulis bahwa menjadi saudara dan saudari artinya mencintai satu sama lain dengan mengakui bahwa masing-masing pribadi “sama berbedanya seperti dua tetes air” (W. Szymborska, “Nulla due volte accade”, in La gioia di scrivere. Tutte le poesie (1945-2009), Milano 2009, 45). Ungkapan ini melukiskan persaudaraan secara sempurna. Tidak ada dua tetes air yang sama, tidak juga dua saudara atau saudari, bahkan saudara kembar pun sama sekali tidak identik. Menghidupi persaudaraan, karenanya, berarti menyambut satu sama lain, mengakui satu sama lain sebagai sederajat di dalam perbedaan.
Nilai ini pun akrab dengan Gereja Indonesia dan diperlihatkan melalui keterbukaan yang dengannya kalian semua menunjukkan beragam kenyataan dari dalam dan luar yang dijumpai pada tingkatan budaya, etnik, sosial dan agama. Secara khusus, Gereja setempat menghargai sumbangsih dari semua orang dan dengan murah hati menawarkan bantuan dalam setiap situasi. Ini penting, karena mewartakan Injil bukan berarti memaksakan iman kita atau mempertentangkannya dengan iman orang lain, tapi memberi dan berbagi sukacita karena berjumpa dengan Kristus (bdk. 1 Pet 3:15-17), selalu dengan sikap penghargaan yang besar dan kasih sayang persaudaraan untuk semua orang. Saya mengundang Anda semua untuk selalu terbuka dan bersikap ramah kepada semua orang – “bergandengan tangan” – seperti yang dikatakan Romo Maxi tadi – nabi-nabi persatuan, di dalam dunia ketika tendensi untuk memecah belah, memaksa, dan memprovokasi satu sama lain kelihatannya terus menerus meningkat (bdk. Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, 67).
Seperti yang diingatkan oleh Suster Rina tadi, penting untuk mencoba menjangkau setiap orang. Mengenai hal ini, diharapkan bahwa tidak hanya teks-teks sabda Allah tapi juga ajaran-ajaran Gereja diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia agar dapat dijangkau oleh sebanyak mungkin orang. Nikolas juga menunjukkan perlunya menjangkau setiap orang, seraya melukiskan misi seorang katekis dengan perumpamaan “jembatan” yang menyatukan. Hal ini menyentuh saya, dan membuat saya berpikir tentang visi indah di dalam negara kepulauan Indonesia yang luas, yang terdiri dari ribuan “jembatan hati” yang menyatukan semua pulau, dan bahkan jutaan lagi “jembatan” yang menyatukan semua orang yang hidup di sana! Perumpamaan indah lainnya tentang persaudaraan ialah sebuah permadani besar dari benang cinta yang melintasi lautan, mengatasi rintangan-rintangan dan merangkul semua perbedaan, membuat semua orang menjadi “sehati dan sejiwa” (bdk. Kis 4:32).
Sekarang kita sampai pada kata ketiga: bela rasa, yang sangat terkait erat dengan persaudaraan. Kita tahu bahwa bela rasa tidak dibatasi saja pada memberi sedekah kepada saudara dan saudari yang membutuhkan, sambil memandang rendah mereka dari “menara” rasa aman dan keberhasilan kita. Sebaliknya, bela rasa berarti mendekatkan kita satu sama lain, menghapuskan segala sesuatu yang menghalangi kita untuk turun menyentuh mereka yang ada di bawah, mengangkat mereka dan memberikan mereka harapan (bdk. Fratelli Tutti, 70). Terlebih, bela rasa berarti merangkul mimpi dan hasrat mereka akan kebebasan dan keadilan, memelihara mereka, mendukung mereka sambil melibatkan orang lain, memperluas “jaring” dan batasan-batasan untuk menciptakan kekuatan kasih yang luas dan besar (bdk. Ibid, 203).
Ada juga orang-orang yang takut dengan bela rasa karena mereka menganggapnya sebuah kelemahan. Sebaliknya, mereka menjunjung tinggi, seakan-akan sebuah keutamaan, kelicikan mereka yang melayani kepentingan diri mereka sendiri dengan menjaga jarak dari semua orang, dan tidak membiarkan diri mereka “disentuh” oleh apa pun dan siapa pun, jadi mereka berpikir bahwa mereka lebih cerdas dan bebas dalam mencapai tujuan-tujuan mereka. Ini adalah cara yang salah dalam melihat realitas. Yang membuat dunia bergerak maju bukanlah perhitungan kepentingan pribadi, yang umumnya berujung pada kerusakan ciptaan dan pemecahbelahan komunitas, tetapi mempersembahkan kasih kepada sesama. Bela rasa tidak menggelapkan visi kehidupan yang sejati. Sebaliknya, bela rasa membuat kita mampu melihat pelbagai hal lebih baik, dalam terang kasih.
Berkaitan dengan ini, arsitektur pintu masuk utama Katedral ini, dengan titik berat pada corak Marianya, merangkum dengan baik apa yang telah kita katakan tadi. Di pusat lengkungan yang menunjuk ke atas terdapat pilar yang di atasnya ada patung Perawan Maria. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Bunda Allah, di atas segala-galanya adalah teladan iman, tetapi dia juga secara simbolis menopang seluruh bangunan Gereja melalui “Ya” nya yang sahaja terhadap rencana Allah (bdk. Luk 1:38). Tubuhnya yang rapuh, yang diletakkan di atas pilar, di atas batu wadas yang adalah Kristus, seolah memikul beban seluruh bangunan bersama-Nya, seolah-olah mau mengatakan pada akhirnya, bahwa karya manusia dan kecerdasan manusia tidak dapat mendukung dirinya sendiri. Oleh karena itu, Maria tampil sebagai citra persaudaraan, sebagai sikap yang menyambut, di tengah pintu masuk utama, kepada mereka semua yang ingin masuk. Akhirnya, Bunda Maria juga merupakan sebuah ikon bela rasa, yang mengawasi dan melindungi umat Allah yang, dalam suka dan duka mereka, bekerja dan berharap, yang berkumpul di rumah Bapa.
Saudara-saudari yang terkasih, saya ingin menutup refleksi ini dengan mengulangi apa yang Santo Yohanes Paulus II katakan ketika memberikan sambutan kepada para Uskup, klerus, dan biarawan-biarawati selama Kunjungannya di sini beberapa puluh tahun yang lalu. Mengutip ayat berikut ini dari Kitab Mazmur, “Laetentur insulae multae – yang berarti Biarlah banyak pulau bersukacita! (Mzm 97:1), beliau mengundang para pendengarnya untuk melaksanakannya dengan “menjadi saksi sukacita Kebangkitan dan melalui pemberian diri demikian sehingga bahkan pulau-pulau yang paling jauh pun dapat ‘bersukacita’ karena mendengar Injil, yang mana Anda semua adalah para pewarta, guru, dan saksi yang otentik” (Pertemuan dengan Para Uskup, Klerus, dan Kaum Hidup Bakti Indonesia, Jakarta, 10 Oktober 1989).
Saya juga memperbarui ajakan ini, dan saya mendorong Anda untuk meneruskan misi Anda dengan menjadi kuat dalam iman, terbuka kepada semua dalam persaudaraan, dan dekat dengan satu sama lain dalam bela rasa. Saya memberkati Anda dan berterima kasih kepada Anda semua atas semua hal baik yang Anda lakukan setiap harinya! Saya akan mendoakan Anda, dan meminta Anda, tolong, doakan saya. Terima kasih.
0 Comments