SEJARAH

NUNSIATURA INDONESIA

  1. Pada 6 Juli 1947, Paus Pius XII mengangkat Uskup Agung de Jonghe d’Ardoye sebagai “Delegatus Apostolik di Kepulauan Indonesia” dan pada hari berikutnya Surat Apostolik untuk menegakkan Delegasi Apostolik “di kepulauan Indonesia” dikeluarkan. Tiga minggu setelah pengangkatannya, pada hari Minggu 27 Juli 1947, Uskup Agung Jonghe d’Ardoye tiba dengan pesawat terbang di Batavia. Pada tanggal 6 Agustus 1947 Delegatus Apostolik menyerahkan surat resmi yang ditandatangani Mgr. Tardini kepada Letnan-Jendral Hindia Belanda Hubertus Johanna van Mook.
  1. Pada 4 Januari 1950 Takhta Suci menginstruksikan wakilnya untuk memberitahukan bahwa Republik Indonesia Serikat diakui oleh Vatikan. Dua hari berikutnya, Mgr. de Jonghe d’Ardoye secara pribadi menyampaikan keputusan ini kepada Wakil Presiden dan Menteri Luar Negri M. Hatta. Hatta mengusulkan supaya Takhta Suci mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Pada tanggal 10 Januari 1950, Takhta Suci memberitahukan kepada Jakarta, bahwa Takhta Suci menerima usul tersebut dan Internunsiatur akan didirikan serta Takhta Suci akan siap menerima misi diplomatik dari Indonesia.
  1. Pada 16 Maret 1950 diumumkan, bahwa “Yang Kudus, Tuhan kami berkenan mendirikan Internunsiatur Apostolik di Jakarta dalam Republik Indonesia Serikat, lalu menyetujui pula, bahwa pada saat yang sama itu, untuk mengangkat sebagai Internunsius Yang Mulia Mgr. Georges de Jonghe d’Ardoye, Uskup Agung Tituler Misthia” (L’Osservatore Romano, 17 Maret 1950). Setelah menerima Surat Kepercayaan, Internunsius baru dapat menyerahkannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 6 April 1950, di Istana Negara.
  1. Pada 25 Mei 1950 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia Serikat, Sukardjo Wirjopranoto menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Paus Pius XII.
  1. Pada 13 Juni 1956, Presiden Soekarno diterima dalam audiensi oleh Paus Pius XII, yang menganugerahkan Bintang Pian kepadanya. Soekarno sekali lagi mengunjungi Vatikan pada 14 Mei 1959 dan diterima oleh Yohanes XXIII. Pada kesempatan ini Soekarno mengundang Paus supaya mengunjungi Indonesia. Dua kunjungan Presiden yang lain berlangsung pada 15 Juni 1963 (waktu sede vacante (kekosongan takhta paus) sesudah wafat Yohanes XXIII) dan pada 12 Oktober 1964, ketika bertemu dengan Paus Paulus VI.
  1. Pada 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII mengeluarkan Konstitusi Apostolik Quod Christus untuk mendirikan hirarki Katolik di Indonesia. Enam Provinsi Gereja diadakan (Jakarta, Semarang, Ende, Medan, Pontianak dan Makassar); vikariat-vikariat apostolik menjadi keuskupan atau keuskupan agung. Pelaksanaan Konstitusi Apostolik tersebut dipercayakan kepada Internunsius Apostolik pada waktu itu, Uskup Agung Gaetano Alibrandi.
  1. Pada 7 Desember 1966, Internunsiatur di Indonesia diangkat menjadi setingkat Nunsiatur Apostolik. Pada tanggal yang sama Uskup Agung Salvatore Pappalardo diangkat menjadi Pro-Nunsius Apostolik di Indonesia.
  1. Pada tahun 1966 perwakilan Indonesia pada Takhta Suci menjadi kedutaan. Pada tanggal 16 Mei Duta Isa Mohammad Nazir menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Paus Paulus VI., yang mengakreditasikannya sebagai Duta Besar
  1. Pada tahun yang sama, pada tanggal 1 Juni, gedung baru Nunsiatur Apostolik diresmikan. Pendirian gedung baru Perwakilan Kepausan diawali oleh Uskup Agung de Liva pada Oktober 1964 dan dilaksanakan sesuai rancangan arsitek Jerman Hermann Bohnekamp. Pembukaan resmi gedung baru berlangsung pada 29 Juni 1966 dan dihadiri Presiden Soekarno.
  1. Pada Konsistorium 26 Juni 1967, Paus Paulus VI mengangkat Mgr. Justinus Darmojuwono, Uskup Agung Semarang, sebagai Kardinal Imam dengan Gereja Tituler ‘Nama Tersuci Jesus dan Maria’ di Via Lata. Dialah Kardinal Indonesia pertama. Sesudahnya, pada Konsistorium 26 November 1944, Yohanes Paulus II mengangkat Julius Darmaatmadja SJ, Uskup Agung Semarang, sebagai Kardinal Imam dengan Gereja Tituler ‘Hati Suci Maria’.
  1. Pada 3 Desember 1970 selama kunjungannya ke Asia dan Oseania, Paulus VI mengunjungi Indonesia. Ia tiba di Jakarta dari Sydney dan disambut oleh Presiden Soeharto. Paus bertemu dengan para imam dan biarawan/wati di Katedral Ibukota. Sesudah beristirahat di Nunsiatur dan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Republik Indonesia, Paus merayakan Misa Kudus di Stadion Senayan sebelum meneruskan perjalanannya ke Hong Kong. Pada masa itu Uskup Agung Joseph Mees menjadi Wakil Kepausan.
  1. Selama kunjungan Apostolik ke Asia Timur dan Mauritius (6-16 Oktober 1989) Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia dari 9 sampai 14 Oktober 1989. Selain Jakarta, Paus juga mengunjungi Yogyakarta, Maumere, Dili dan Medan. Di ibukota, Paus bertemu dengan uskup-uskup, pejabat sipil, tokoh-tokoh keagamaan, klerus dan biarawan/wati serta mengunjungi tempat-tempat budaya. Selama berada ibukota Paus tinggal di Nunsiatur Apostolik, yang pada waktu itu dikepalai Uskup Agung Francesco Canalini.
  1. Sesudah kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia (2002), Nunsiatur dalam negeri itu didirikan pada 23 Juni 2003 dan dipercayakan kepada Wakil Kepausan di Jakarta sampai 2011.
  1. Dari 2007 sampai 2010 restorasi dan perluasan gedung Nunsiatur dilaksanakan. Pada 11 Oktober 2009 Uskup Agung Leopoldo Girreli meresmikan kapel baru ‘Keduabelas Rasul’.
  1. Pada 8 Juni 2011 Benediktus XVI mengangkat Uskup Agung Leopoldo Girelli sebagai Delegatus Apostolik untuk Singapura dan sebagai Nunsius Apostolik untuk Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang kantor pusatnya berada di Jakarta.